Membeli Reksa Dana, Ketika Harga Tinggi atau Rendah?

Reksa Dana itu umumnya memberikan keuntungan investasi dalam jangka panjang. Belum lagi jumlah jenis reksa dana yang semakin banyak pilihannya, sehingga menjadi tantangan tersendiri dalam menentukan mana yang terbaik dalam memberikan keuntungan maksimum. Ada reksa dana yang baru terbit sehingga harganya baru 1000an, ada juga yang sudah belasan tahun yang lalu sehingga harganya juga puluhan ribu. Sebagai investor, apakah sebaiknya memilih yang harganya tinggi atau yang masih rendah ?

Dengan tingkat literasi keuangan khususnya pasar modal yang masih relatif rendah di Indonesia, banyak investor masih menyamakan investasi reksa dana dengan investasi konvensional seperti properti dan saham. Pada properti dan saham, harga masih menjadi pertimbangan utama dalam pembelian.

Ketika membeli properti, umumnya orang akan memperhatikan harga. Baik itu harga properti secara keseluruhan ataupun harga properti per meter persegi. Logika yang digunakan oleh orang awam adalah jika harganya sudah tinggi, maka potensi untuk naik juga akan semakin terbatas.

Harga properti atau tanah yang masih ratusan ribu atau jutaan per meter secara umum akan dilihat lebih berpotensi naik dibandingkan harga properti atau tanah yang sudah puluhan juta.

Untuk investasi saham juga demikian. Umumnya bagi investor pemula, saham dengan harga masih rendah misalkan dibawah Rp 5.000 akan lebih menarik dibandingkan saham dengan harga puluhan ribu. Adanya stock split memperkuat persepsi bahwa harga saham yang sudah mencapai puluhan ribu, memang harus dikecilkan supaya potensi kenaikannya lebih besar.

Pendapat di atas bisa benar bisa salah karena sangat bergantung pada pengalaman masing-masing orang dalam berinvestasi di instrumen tersebut. Namun sebagai seorang praktisi di pasar modal, menurut saya dalam berinvestasi, daripada harga, yang lebih penting adalah imbal hasil atau Yield.

Misalkan ada dua properti katakanlah A yang merupakan kelas menengah dan B yang merupakan kelas atas. Harga properti A adalah Rp 2 miliar dan harga properti B adalah Rp 10 miliar. Secara umum investor akan beranggapan bahwa properti B lebih mahal daripada A. Namun dari sudut pandang pasar modal, yang dilihat bukanlah harga semata tapi juga imbal hasil.

Misalkan properti A jika disewakan, dalam kondisi pasar sekarang kurang lebih akan mendapatkan kontrak senilai Rp 100 juta per tahun atau 5 persen dari nilai properti. Properti B, karena terletak di lokasi premium dengan desain interior yang mewah, amat menarik perhatian dari para ekspatriat. Properti tersebut bisa laku dengan katakanlah sewa Rp 750 juta per tahun atau 7,5 persen dari nilai propertinya.

Dari sudut pandang pasar modal, maka properti B lebih murah dibandingkan properti A karena mampu memberikan imbal hasil atau yield yang lebih tinggi. Sebab fokusnya bukanlah pada harga, tapi berapa pengembalian yang bisa diterima oleh investor dengan berinvestasi pada aset tersebut.

Tentu, ada yang bisa berpendapat bahwa dengan harga Rp 10 miliar, tentu yang mampu membeli hanya segelintir orang sehingga permintaan dan penawarannya juga terbatas. Dengan harga Rp 2 miliar, unit yang diperoleh bisa lebih banyak dan kelompok masyarakat yang mampu membeli juga lebih banyak.

Dalam kacamata pasar modal, kondisi di atas disebut dengan likuiditas. Artinya properti dengan harga yang lebih rendah akan lebih likuid dibandingkan dengan yang harganya lebih tinggi. Namun bukan berarti jika tidak likuid, potensi kenaikannya lebih terbatas. Jika memang imbal hasilnya baik, tentu peminatnya akan selalu ada.

Dari sisi administrasi, proses tanda tangan dan perjanjian untuk 5 properti tentu akan lebih merepotkan dibandingkan 1 properti. Jadi lebih likuid, bukan berarti lebih mudah dijual. Untuk properti yang membutuhkan proses balik nama, tentu biaya notaris yang dikeluarkan juga lebih banyak.

Untuk investasi saham juga demikian. Setiap saham memiliki harga wajar yang bisa dihitung dengan berbagai metode seperti Price Earning Ratio (PER), Price to Book Value Ratio (PBV), Net Present Value (NPV), dan sebagainya. Saham dengan harga Rp 50.000 tidak berarti mahal jika harga wajarnya adalah Rp 40.000. Sebaliknya saham dengan harga Rp 1000 belum tentu murah jika harga wajarnya ternyata Rp 2000.

Manajer Investasi yang berpengalaman akan berfokus pada harga wajar perusahaan, bukan nominal harga pasarnya. Dari sisi administrasi, transaksi saham otomatis akan jauh lebih likuid dan mudah karena tidak ada proses balik nama setiap kali terjadi jual beli.

Memang untuk harga saham yang sudah tinggi, karena hitungan transaksi 1 lot = 100 lembar, maka jumlah uang yang dibutuhkan untuk transaksi juga akan lebih besar. Namun hal ini juga tidak menjadi masalah karena bagi investor institusi, modal investasinya sudah mencapai miliaran bahkan ratusan miliar atau triliunan.

Jadi dalam kacamata pasar modal, nominal harga yang lebih rendah akan membuat suatu instrumen investasi lebih likuid. Namun tidak berarti lebih menguntungkan karena kembali pada imbal hasil dan harga wajarnya.

Bagaimana dengan reksa dana ?
Berbeda dengan saham dan properti, reksa dana tidak memiliki harga wajar. Sebab reksa dana merupakan hasil dari pengelolaan manajer investasi. Karena dikelola secara aktif, maka isi portofolio reksa dana bisa berubah dari waktu ke waktu.

Bisa saja pada suatu waktu, saham-saham yang ada dalam reksa dana secara valuasi sudah murah. Tapi pada bulan berikutnya isinya berubah menjadi saham dengan valuasi yang mahal. Dengan demikian, investor tidak bisa menentukan apakah harga suatu reksa dana sudah mahal atau murah berdasarkan isi saham didalamnya.

Reksa dana juga tidak memiliki masalah likuiditas seperti halnya pada saham dan properti. Selama instruksi transaksinya memenuhi syarat yaitu dilakukan pada hari kerja, in complete application dan in good fund, maka semua transaksi jual beli reksa dana harus diproses pada NAB/Up atau harga reksa dana pada hari tersebut.

Mau harga reksa dananya Rp 75.000 atau Rp 750, sepanjang investor mau beli, maka manajer investasi wajib menjual dan sebaliknya jika ingin menjual, maka manajer investasi wajib membeli kembali dari investornya. Dalam kondisi harga sedang naik ataupun turun, manajer investasi berkewajiban melayani permintaan dari investor.

Reksa dana dengan harga Rp 75.000 ataupun Rp 750 tetap bisa dibeli oleh investor dengan modal Rp 100.000. Karena sistem reksa dana menggunakan nominal investasi dibagi harga. Untuk reksa dana dengan harga Rp 75.000 investor akan mendapat 1,3333 unit. Sementara untuk reksa dana dengan harga Rp 750 investor akan mendapat 133,3333 unit.

Apakah jumlah unit yang lebih banyak akan berdampak terhadap hasil investasi? Sebenarnya tidak juga, karena yang menjadi fokus investornya adalah imbal hasil. Misalkan reksa dana dengan harga Rp 75.000 bisa memberikan keuntungan 10% maka dengan modal Rp 100.000 akan menjadi Rp 110.000. Sebaliknya ketika harga reksa dana Rp 750 namun imbal hasilnya hanya 5%, maka meskipun unitnya lebih banyak, Rp 100.000 hanya akan menjadi Rp 105.000.

Karena risiko likuiditas di reksa dana jauh lebih kecil daripada saham dan properti, maka fokus investor dalam reksa dana adalah pada imbal hasilnya. Dalam kacamata pasar modal, imbal hasil tidak harus selalu positif, namun jika bisa lebih tinggi dibandingkan pembanding (benchmark) sudah lebih bagus.

Untuk reksa dana saham, benchmark yang digunakan adalah IHSG. Misalkan IHSG memberikan imbal hasil atau return 10 persen, maka reksa dana dikatakan bagus apabila tingkat returnnya 12 persen. Sebaliknya jika lebih rendah, misalkan 8 persen, meskipun positif tetap dianggap underperform.

Untuk reksa dana pendapatan, benchmark uang digunakan adalah indeks obligasi dan untuk reksa dana campuran menggunakan kombinasi antara IHSG dan indeks obligasi.

Jadi dalam memilih reksa dana, bukanlah memilih yang harganya lebih tinggi atau lebih rendah, tapi pilihlah reksa dana yang dalam jangka panjang secara konsisten bisa mengalahkan benchmark / pembandingnya. Sumber dari Kompas.com

0 Response to "Membeli Reksa Dana, Ketika Harga Tinggi atau Rendah?"

Posting Komentar